Kamis, 21 Mei 2015

Sampai Aku Bertemu Kamu

kecil, aku selalu bertanya-tanya,
bagaimana bisa ayah dan ibu bertemu setiap hari,
tinggal di rumah yang sama, makan di meja yang sama, dan tidur di tempat tidur yang sama, tetapi tak pernah satu pun dari mereka merasa
bosan.
Aku heran mengapa dua orang yang bertatap muka dengan kadar melebihi jadwal minum obat –lebih dari tiga kali sehari– bisa tidak merasa jenuh.
Aku sering memikirkan hal itu. Sampai aku..... bertemu kamu.
Baru aku tahu, ternyata sebuah “Aku pamit” rasanya bisa seberat “Selamat tinggal”.
Padahal, baru saja beberapa detik yang lalu kita bercengkrama, tertawa bersama, membahas
dunia.
Padahal, ini sudah ketiga kalinya
dalam satu kali perputaran revolusi bulan kita bertemu.
Namun setiap kali waktunya datang
‘tuk berpisah, meski hanya sementara, ‘pamit’ selalu terasa semakin berat.
Perpisahan, dalam bentuk apa pun, meski tak seberat “selamat tinggal”, tetap saja rasanya sulit.
Ini semua karena aku sudah terlanjur meninggalkan hatiku di ‘rumah’, yaitu di matamu –tempat aku menemukan keteduhan.

Baru aku sadar, sedetik setelah pergi, manusia bisa rindu orang yang baru ia temuinya lagi.
Aku tidak akan pergi jika tidak harus.
Tidak akan dan tidak ingin. Ketika di sampingmulah aku merasa tidak perlu ada lagi yang mesti aku
khawatirkan di dunia ini.
Karena ketika bersamamu, aku lengkap. Dan ketika denganmu, aku tahu harus bersama siapa harus menghabiskan sisa hidup.
Aku sangat bersyukur dengan semua mimpi yang selama ini berhasil aku raih. Namun jika tanpamu, aku seperti tak sedang menjalani mimpiku.
Kamu mimpi terindah yang ingin kujadikan nyata. Sebagian orang berkata tidak ada yang sempurna.
Tapi bagiku, kamu sempurna.
Lebih dari itu, kamu menyempurnakan aku.
Karena kamu membuat aku merasa cukup.
Aku tidak memilihmu. Kamu tidak memilihku. Namun hidup memilih kita.
Sampai aku bertemu aku.
Aku sadar selamat tinggal ini hanya sementara.
Kelak semua akan diakhiri peluk erat dan dekap hangat. Kali ini, setidaknya untuk sementara ini,
aku minta kamu peluk aku dengan doa.
Dan biarkan aku melanjutkan bergelut dengan hidup, untuk mewujudkan mimpi kita.
Untuk hidup di bawah atap yang sama, makan masakan yang sama, berbagi selimut yang sama.
Hidup bersama dalam bahagia yang halal, dan kekal. Aamiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar