Selasa, 10 November 2015

Maaf

“ Nila setitik rusak susu sebelanga. ”

Aku pernah berpikir keras bagaimana kalimat di atas bisa benar-benar merepresentasikan keadaan dalam kenyataannya. Aku selalu benci mengapa pengaruh negatif selalu lebih kuat dibanding yang positif.

Bagaimana mungkin nila yang hanya setitik itu bisa merusak susu sebelanga banyaknya? Tentunya tergantung kadar si nila itu sendiri.
Namun yang aku tahu, keburukan sering kali lebih kuat. Contohnya orang terbaik yang pernah kamu kenal, sekali dia melakukan kesalahan/keburukan, kontan semua kebaikannya seakan luruh, sirna, sia-sia. “ Ketika dia berbuat salah, ingatlah kebaikannya.”

Tentu saja hal itu diperlukan, agar apa? Agar kita menjadi hamba yang pemaaf, tidak melebihi sifat Tuhannya, namun berusaha mengikuti jalan-Nya. Namun masih ada yang kurang dari ungkapan tadi, mesti ditambah sebaliknya, “ Ketika dia berbuat baik, ingatlah kesalahannya. Hanya agar kamu tetap waspada. ”

Ya, memang apa pun yang berlebihan, tidak baik. Seperti halnya memaafkan, dan membenci. Membencilah, marahlah, kecewalah dengan sewajarnya, agar kamu bisa dengan wajar memaafkan.

Minggu, 08 November 2015

Ada 'Rumah' yang indah di matamu

Senangnya bisa kembali ke secarik kertas ini. Kertas digital yang selalu menjadi cawan yang kemudian kutuangi ide, cerita, atau sekadar curahan hati alam bawah sadar.

Terkadang, sebenarnya bukan terkadang, tapi selalu, aku selalu heran ketika suatu rencana yang dibuat manusia bisa hancur begitu saja oleh makhluk bernama ‘takdir’. Aku pernah mendengar sebuah pernyataan dari seorang dosen berbunyi ‘semua yang terjadi pada kita 80% adalah akibat perbuatan kita, 18% kondisi, dan 2% sisanya adalah takdir’. Jika dikaji lebih dalam, persentase tadi sebenarnya seimbang karena masing-masing pengaruh materi sesuai dengan kekuatannya.

Biasanya kita baru memperhatikan
komposisi ini ketika keadaan tak sesuai dengan yang kita inginkan. Dan ‘takdir’, sebagai persentase terkecil selalu menjadi kambing hitam paling empuk, jika kita sudah tak bisa lagi menyalahkan kondisi dan perbuatan kita sebagai persentase yang lebih besar.

“Nila setitik, rusak susu sebelanga,” peribahasa yang bisa aku ambil untuk masalah ini. Keburukan selalu lebih kuat dari kebaikan. Namun kebaikan
selalu jadi pemenangnya, bukan?
Takdir, dengan persentase yang begitu rendah, bisa menjadi faktor kuat pengubah kejadian. Kita pasti menyadari itu ketika keadaan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bagaimana mungkin hanya dengan sedikit sentuhan takdir,
rencana yang hampir sempurna sekali pun bisa porak-poranda? Itulah mengapa kubilang takdir
itu kuat.

Dengan pengaruhnya yang begitu besar, lalu, apakah kita bisa bilang takdir jahat? Jika tidak, mengapa pengaruhnya begitu besar seperti nila pada susu? Jika ya, bukankah seharusnya kebaikan yang jadi pemenangnya? Istilah ‘takdir’
diciptakan hanya agar manusia bisa menerima apa yang tak bisa dikehendakinya. Tepatnya, agar manusia punya sesuatu untuk disalahkan pada akhirnya jika kehendaknya tak terlaksana.

Takdir, juga yang mempertemukan kita, menghubungkan getaran-getaran yang pada awalnya tak terdeskripsikan, getaran yang seolah berkata “aku butuh kamu”. Hingga kita merumuskan rasa itu menjadi sebuah kebutuhan.

Rasa butuh yang biasa orang sebut “sayang”. Pernah kita mengklaim diri kita tak akan berarti tanpa orang yang memenuhi kebutuhan kita.
Namun pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang paling membutuhkan kita. Sepasang kekasih tak mungkin lagi bisa bersama kalau di antara mereka sudah tak lagi saling membutuhkan. Memang terkesan ‘memanfaatkan’, tapi itu memang sifat dasar manusia, ingin kebutuhannya dipenuhi, yang ujung-ujungnya agar merasa bahagia.

Seseorang yang membutuhkan kita bukanlah orang yang memanfaatkan kita, karena memanfaatkan berarti mengambil keuntungan dari seseorang yang sebenarnya tak terlalu kita butuhkan. Ketika menemui seseorang yang membutuhkan kita, secara langsung atau tidak, kita akan membutuhkan mereka juga. Karena tak ada artinya kelebihan kalau tak ada tempat untuk menuangkannya, seperti cintaku yang berlebih ini, kepadamu.
Menemukan seseorang yang kita butuhkan itu seperti menemukan rumah yang selama ini kita cari saat kita tersesat, karena rumah adalah
tempat yang paling kita butuhkan. Kita selalu merasa aman, nyaman, tenang ketika berada di rumah. “Rumahku istanaku” terbukti bukan
ungkapan omong kosong.

Pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang ketika kita menatapnya, kita merasa seperti di rumah.

Everytime I look at you, I’m home

Dan itu bukan karena perbuatanku, kondisi, ataupun takdir, melainkan ketiganya.

Sabtu, 07 November 2015

Sebuah pesan tentang Pahitnya Keadaan

Bukan mimpi, gemuruh ombak laut
terdengar bermelodi. Bukan rahasia, semua terasa seperti itu ketika jatuh cinta. Dan bukanlah keadaan, jika tak bisa membuat yang indah menjadi ketakutan.
Kata orang, cinta sesuatu yang megah. Namun kadang megahnya tertutup keadaan kemudian kalah.

Keadaan di mana pada diri satu orang, atau keduanya terdapat cinta tapi masing-masing atau salah satunya sudah memiliki pasangan.
Keadaan di mana dua orang saling sayang, tapi orang tua berkehendak lain. Keadaan di mana dua orang saling cinta, tapi berbeda Tuhan –yang katanya satu–. Keadaan di mana seseorang jatuh cinta, tetapi yang satunya terasa terlalu sempurna untuk dia. Mungkin masih banyak lagi keadaan-keadaan di luar sana yang menyisakan kepahitan. Dan aku mengalami salah satu halnya.

Mengapa seringkali sebuah cinta tumbuh di keadaan yang tidak memungkinkan? Apakah sebuah cinta adalah tumbuhan yang tidak peduli
habitatnya berkeadaan seperti apa, hanya membutuhkan ketulusan? Akan tetapi, apakah ketulusan saja cukup untuk bersama? Tidak, untuk bersama, juga butuh keadaan.

Begitu pula dengan keputusanku memendam semua mimpi itu. Ini semua, sedikit banyak karena keadaan. Apa yang tumbuh dalam hati seiring aku memandang senyummu, melihat tawamu, menatap
binar matamu, harus aku pendam sendiri. Selagi menunggu keadaan –yang mungkin tak akan datang–, aku guratkan tinta hati hingga
senja menjelang. Aku kemas surat itu dalam beningnya botol ketulusan, dan membiarkannya bebas di luasnya lautan kemungkinan.

“Jika memang jodoh, kita pasti akan bersama.” Ah, akhirnya aku mengatakan itu. Mengatakan
kalimat bagi orang yang kalah dalam perjuangan mendapatkan seorang pujaan. Aku tak ingin menjadikan keadaan sebagai pesakitan. Karena sudah terlalu sering kata itu
berlalu-lalang di kisah kehidupan.

Kamu boleh caci aku karena mengungkapkan rasa yang tak berani. Tapi mungkin kamu juga tahu, bahwa kadang melawan keadaan tak semudah yang pernah ada dalam mimpi. Dan biarkan pesan dalam botol ini, tetap menjadi rahasia hati.

Karena kenyataan sesungguhnya tak seindah mimpi.

Untuk kamu, Jangan Pergi

Jika kamu pergi, senyum ini untuk siapa lagi? Lalu ke mana larinya lengkung bibir itu? Hanya menyelinap ke dalam pori-pori mimpi?
Jika kamu pergi, ke mana lagi aku layangkan alunan rindu ini? Ke telinga peri yang sudah lumpuh menembakkan panah cintanya kepadamu?
Ke jari-jari kedinginan yang tak pernah kamu genggam lagi?

Jika kamu pergi, apa lagi yang bisa aku tulis tentang sayang ini? Tentang ketiadaan kamu? Tentang pundak kosong tak berpenghuni yang
merindukan sandaran kamu?
Jika kamu pergi, akan aku lipat menjadi apa kertas yang biasa aku buat menjadi burung kesukaanmu? Atau hanya harus kuubah menjadi mawar yang kelopaknya gugur perlahan? Atau harus kubentuk menjadi sebuah nisan yang di atasnya tertulis kenangan kita?

Jika kamu pergi, siapa lagi yang aku tunggu menjadi penyemangat di saat-saat tersulitku?
Aku harus menunggu suara burung hantu di tengah malam, seakan mengejek atas segala kekalahanku? Atau cukup ditemani keheningan
malam, mendinginkan hati?

Jika kamu tak kembali, apalagi yang pantas aku tunggu mengorbankan sisa waktu hidupku? Menunggu hingga usia menggerogoti jasad ini?
Bahkan dengan bantuan rindu, jiwaku tak akan tersisa.

Kamu, jangan pergi.

Semuanya berakhir sia-sia

"Awalnya gue pikir nggak sia-sia. Tapi ya sia-sia juga deh" she said.
Ya.. mungkin tuhan yang memberikan jawaban atas itu semua. Jawaban akhir yang ga pernah ada 1 orang pun yang tahu. Ya hubungan ini berakhir karena jalannya. Dan semua jadi sia-sia.....
Aku bercermin apa yang selama ini aku rasakan? Jujur selama aku bersamanya aku jelas jelas menutup rapat hatiku untuk orang lain. Sangat rapat. Aku selalu total dan selalu full dalam mencintai ga pernah setengah setengah. Namun bagiku aku mulai lelah dengan hubungan ini. Aku lelah ketika aku selalu berjuang hanya untuk bisa bersamanya tapi yasudah mungkin baginya itu biasa. Jelas tujuanku 1 aku hanya ingin pendamping hidupku nantinya yang 1 agama bersama ku dengan iman yang sama dan hati yang sama.

Apa yang membuat ini jadi sia-sia?? Ya aku. Aku yang menurutnya sudah ingkar. Aku yang menurutnya sama saja dengan laki laki lain yang hanya menjadikannya layaknya keset yang bisa diinjak injak dan welcome seenaknya. Aku yang mempermainkan hatinya. Aku yang menghancurkan komitmen dan banyak lagi hal lainnya.
Dan... sebenarnya tak seperti itu. Karena kamu hanya diliputi rasa khawatir dan emosi. Itu yang membuatmu mudah terpengaruh dan akhirnya apa? Kamu bertindak sama dengan wanita kebanyakan. Menghapus semua kontak yang berhubungan denganku. Yap... terimakasih atas itu. Mungkin hal itu nanti yang bisa membuatmu tenang.

Terima kasih pernah menjadi partner yang hebat dalam hidupku. Terima kasih untuk menjadi sebuah jawaban dalam hidupku. Bagiku semua ini ga sia-sia. Karena kamu harus melihatnya dari banyak sudut bukan hanya 1 sudut saja.

Sekali lagi terima kasih....

Minggu, 01 November 2015

REL KITA BERBEDA

Setiap manusia terlahir dengan potensinya masing-masing. Mereka berbeda. Bahkan seorang yang dikatakan ‘kembar’ akan memiliki perbedaan yang signifikan. Allah telah menganugrahi setiap manusianya keunikan yang berbeda-beda melalui potensinya masing-masing.

Banyak orang yang mengetahui bahwa setiap dari kita terlahir dengan berbeda. Namun, hanya
sedikit orang yang paham akan potensi yang dimilikinya. Bahkan terkadang, manusia menginginkan sesuatu yang menjadi takdir orang
lain. Padahal jika kita sadari, setiap dari kita adalh istimewa dengan kelebihan masing-masing.

Ibarat rel kereta, masing-masing dari kita mempunyai relnya. Tak usah peduli dengan apa yang dilakukan orang lain dengan relnya.
Berjalanlah dan lakukan yang terbaik di rel yang telah Allah takdirkan untuk kita.

Karena kita berbeda. Jalan, niat dan hasil yang akan kita peroleh dari setiap kejadian dalam hidup kita akan berbeda. Tak perlu hiraukan
bagaimana orang lain menjalani hidupnya. Cukup berikan yang terbaik untuk Allah, hanya untuk
Allah. Karena kita akan memanen apa yang kita tanam.